PACITAN,wartakita.co- Masyarakat di Kabupaten Pacitan kembali melestarikan budaya warisan leluhur. Kali ini, Upacara Adat Tetaken dilaksanakan oleh masyarakat Desa Mantren, Kebonagung pada Rabu (2/8/2023).
Bertempat di halaman padepokan Gunung Limo adat budaya turun temurun ini digelar tepat pada tanggal 15 Muharram. Ritual adat yang kental dengan suasana religius ini digelar secara sederhana.
Ritual diawali ketika 7 orang pemuda dari Padepokan Tunggul Wulung Gunung Limo turun gunung. Ketujuh murid berpakaian serba putih itu kemudian menjalani wisuda oleh sang juru kunci Gunung Limo.
Baca juga : Ritual Adat Baritan Tak Lekang Jaman
Prosesi ritual Tetaken itu merujuk pada kisah pengembaraan Kiai Tunggul Wulung dan Mbah Brayat. Setelah bertapa di Gunung Lawu, keduanya akan melakukan pengabdian dengan menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa.
Namun, kedua orang ini berpisah di tengah jalan. Mbah Brayat memilih tinggal di Sidomulyo, sementara Kiai Tunggul Wulung memilih lokasi yang sepi di puncak Gunung Limo Kebonagung.
Ritual Adat Tetaken bagian dari upacara bersih desa atau sedekah bumi. Tetaken jadi tradisi khas masyarakat kaki Gunung Limo yang terus dilestarikan. Bagi masyarakat Pacitan, Gunung Limo adalah simbol kekuatan dan nilai spiritual.
Tak heran, tiap tahun upacara adat masyarakat Mantren ini mengundang perhatian masyarakat luas. Para pejabat daerah pun selalu antusias mengikuti serangkaian prosesi dengan penuh khidmat.
“Menurut saya (Tetaken) perlu dilestarikan dan Tetaken ini bentuk rasa syukur kepada Allah SWT,” kata Bupati Pacitan Indrata Nur Bayuaji.
Saat ini Tetaken jadi salah satu potensi budaya di Pacitan dan telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) atau Intangible Culture Heritage dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
“Pelestarian (Tetaken) sudah sangat luar biasa, mudah-mudahan ke depan bisa lebih meriah. Apalagi dampak positif pada perekonomian masyarakat sekitar dan jadi pemikat wisatawan untuk datang ke Pacitan,” pungkas Bupati Pacitan.