Arisan Emak-emak Pacitan Pakai Beras Bukan Uang Tunai

Arisan ibu-ibu rumah tangga di Desa Jetak menggunakan beras bukan uang tunai. (Foto/istimewa).

PACITAN,wartakita.co- Kata ‘Arisan’ biasanya identik dengan uang. Alat pembayaran itu dikumpulkan, lalu diundi untuk menentukan pemenang secara bergiliran. Tapi di sebuah desa di Pacitan, arisan tak memanfaatkan media uang. Peserta mengumpulkan beras, kemudian diserahkan kepada petugas untuk selanjutnya diundi.

Baca juga : 2 Hektar Lahan Terbakar, 3 Kendaraan Damkar Diterjunkan

Bangunan sederhana yang menempel di dinding masjid itu menjadi titik kumpul peserta arisan. Mereka adalah emak-emak dari beragam usia. Tiap awal bulan, bangunan yang disebut Balai RT itu selalu ramai. Puluhan perempuan dari beberapa lingkungan di Desa Jetak, Kecamatan Tulakan berbondong-bondong membawa bahan pangan beras.

Satu di antara peserta arisan adalah Sinto (70). Perempuan sepuh itu sengaja datang lebih awal ke lokasi. Tangan kanannya menjinjing ember berisi beras 2 kilogram. Sesuai kesepakatan tiap peserta arisan memang wajib menyetorkan beras sebanyak itu. Dengan langkah setengah gontai, Sinto menuju ke depan meja petugas arisan.

Petugas berhijab merah jambu itu pun bergegas membuka buku dan mencatat nama Sinto. Tidak itu saja, sebelum beras setoran peserta dijadikan satu di suatu wadah, harus dilakukan penimbangan terlebih dahulu. Prosedur serupa juga berlaku bagi seluruh peserta yang datang dan mencatatkan diri. Usai proses pendaftaran, peserta lantas menunggu pengundian.

Penantian selama setengah jam pun tak terasa lama. Untuk mengisi waktu para emak berbincang tentang kehidupan sehari-hari. Sesekali gelak tawa terdengar di antara mereka. Suara riuh rendah sontak terhenti begitu petugas menyampaikan pengumuman jika undian akan segera dilakukan. Semua diam menyimak hasil pengundian.

“Nyuwun kawigatosan nggih. Pengundian enggal badhe dipun wiwiti (Mohon perhatian ya. Pengundian akan segera dimulai),” kata si petugas, Jumat (6/10/2023).

Terlihat wajah-wajah tegang saat menantikan pengumuman pemenang. Namun raut muka Sinto mendadak berubah cerah kala namanya disebut. Dirinya senang karena bakal membawa pulang beras sebanyak 31 kilogram. Tiap putaran arisan memang diambil 2 orang pemenang dengan jumlah beras sebanyak itu.

“Ya senang lah. Alhamdulillah. Pas beras mahal, dapat rezeki sebanyak ini. Bisa untuk bertahan beberapa bulan,” ucap Sinto kegirangan.

Sinto pun segera memanggil cucunya. Dirinya meminta tolong agar sang cucu membawakan karung berisi beras untuk dibawa pulang. Maklum tubuh Sinto yang mulai renta tak mampu menggendongnya sendirian. Beras dibawa dengan sepeda motor, sedangkan Sinto memilih pulang dengan berjalan kaki.

Diceritakan, tradisi arisan beras sudah ada sejak lama. Bahkan secara turun temurun kebiasaan itu juga dijadikan sarana berkumpul. Tentu saja, dorongan menjalin silaturahim antarwarga menjadi alasan nilai kebersamaan di kawasan tepi Samudera Indonesia itu tetap terjaga. Di sisi lain, warga juga tak ingin melewatkan kesempatan menjadi pemenang.

“Pokoknya selama ndak ada kepentingan lain saya usahakan datang,” kata Seni, perempuan lain yang juga beruntung membawa pulang beras.

Diakui Seni, perubahan zaman memang membawa dampak. Salah satunya kebiasaan berkumpul yang intensitaskan kian menurun. Hal itu diduga terjadi seiring pemanfaatan gawai sebagai sarana komunikasi. Pun di sisi lain dia bersyukur, warga di desanya tetap mempertahankan arisan beras. Itu wujud kearifan lokal sekaligus bentuk nilai kekerabatan.

“Pokoknya jangan sampai punah atau hilang,” harapnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *