PACITAN,wartakita.co- Kemajuan teknologi mengubah tatanan kehidupan masyarakat. Pun di dunia industri, cara-cara tradisional menghilang tergerus zaman. Salah satunya produksi alat pertanian secara manual.
Kini, tak banyak perajin besi yang mampu bertahan. Minimnya nilai ekonomi hingga pemasaran jadi tantangan para penempa besi tradisional.
Di tengah gempuran produk pabrikan, Suparnen, tetap berupaya memproduksi aneka ragam alat pertanian, meliputi arit, mata cangkul, pisau dan lainnya.
“Sudah puluhan tahun, mau kerja apalagi ya yang ada ini terus ditekuni saja,” kata pria berusia 65 tahun tersebut pada wartawan.
Baca juga : Pemancing Asal Yogya Ditemukan Meninggal di Pacitan
Bahan baku besi bekas yang disiapkan mulai dipanaskan melalui ruang pembakaran tradisional. Perlahan tapi pasti, besi yang mulai memerah dibentuk menggunakan palu sesuai kebutuhan.
Sesekali besi panas itu dimasukkan ke dalam ruang pendingin atau wadah air. Proses tempa ini dilakukan berulang kali sampai besi berubah bentuk jadi peralatan yang diinginkan.
Untuk hasil yang lebih halus dan tajam, pengrajin terkadang menggunakan alat bantu gerinda listrik. Namun, keterampilan menempa dan pemanasan tradisional tetap jadi kunci menghasilkan kualitas terbaik.
“Sehari rata-rata lima sampai tujuh pisau dapur selesai,” tambahnya.
Kakek dua anak itu mengaku perkakas pertanian paling laku. Ini karena sebagian besar pelanggan tetapnya berprofesi sebagai petani di wilayah Kecamatan Kebonagung dan Tulakan.
Akan tetapi pesanan pisau meningkat mendekati perayaan Idul Adha. Untuk harga satu buah pisau dibedakan berdasarkan ukuran.
Misalnya jenis pisau dapur ukuran panjang 15 sentimeter dijual dengan harga 30 ribu, sedangkan pisau untuk sembelihan dijual dengan harga 100 ribu hingga 300 ribu rupiah.
“Dalam sebulan yang biasa mendapat Rp 2 juta menjadi Rp 7 juta rupiah.” tuturnya.
Baca juga : Sektor Pariwisata Jadi Masa Depan Pacitan
Suparnen adalah satu dari sedikit pandai besi tradisional yang masih tersisa di Pacitan. Keahlian turun menurun dari keluarganya menjadikan profesi pandai besi sebagai penghasilan ekonomi utamanya.
Untuk menjaga tradisi ini tetap lestari, Bupati Pacitan Indrata Nur Bayuaji membiayai pendidikan salah satu putra Suparnen untuk menuntut ilmu Kriya di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institusi Seni Indonesia Surakarta.