RUU KUHP Disahkan, Pasal Ini Dinilai Kontroversial

Tangkapan layar Sidang Paripurna pengesahaan RUU KUHP dari akun youtube DPR RI.

NASIONAL,wartakita.co- Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) resmi disahkan menjadi Undang-Undang melalui rapat paripurna DPR RI pada Selasa (6/12) kemarin.

Pemerintah dan DPR menyetujui RKUHP meski sebagian pasalnya disoal berbagai kalangan masyarakat. Beberapa pasal yang dianggap bermasalah itu antara lain terkait Penghinaan Terhadap Presiden.

Pasal itu tertuang dalam draf RKUHP pasal 218 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang yang berpendapat di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden dan/atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara maksimal 3 tahun atau denda paling banyak Rp 200 juta.

Kemudian Pasal 218 (ayat 2) menyatakan bahwa hal tersebut tidak berlaku jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri. Kebebasan ekspresi itu pun harus bersifat konstruktif.

Pada bagian penjelasan bahwa yang dimaksud dengan ‘dilakukan untuk kepentingan umum’ adalah melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan salah satunya lewat aksi unjuk rasa atau demonstrasi, kritik atau pendapat yang berbeda dengan kebijakan presiden dan/atau wakil presiden.

RKUHP itu juga memuat tentang Makar yang tertuang dalam Pasal 192. Makar dimaksudkan supaya sebagian atau seluruh wilayah NKRI jatuh kepada kekuasaan asing atau untuk memisahkan diri dari NKRI dipidana dengan pidan mati, pidana seumur hidup atau pidana penjara maksimal selama 20 tahun.

Draf KUHP juga mencantumkan Pidana Demo Tanpa Pemberitahuan. Hal itu tertuang dalam Pasal 256. Kemudian draf KUHP turut mengatur ‘Berita Bohong’ pada Pasal 263.

“Setiap orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal diketahuinya bahwa berita dan pemberitahuan tersebut bohong yang mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat, dipidana penjara paling lama 6 tahun atau denda paling banyak kategori V (Rp 500 juta),” bunyi Pasal 263 ayat 1.

KUHP anyar ini juga memuat ketentuan penyiaran berita yang dianggap tidak pasti dan berlebihan. Ini tertuang pada Pasal 264 yang menyatakan bahwa seseorang yang membuat dan menyebarluaskan berita tersebut dapat dipenjara 2 tahun atau denda paling banyak Rp 10 juta.

Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly mengaku pengesahan KUHP jadi sejarah membanggakan, karena selama ini hukum Indonesiaa mengacu pada produk hukum yang merupakan peninggalan zaman penjajahan.

“Produk Belanda tidak lagi relevan dengan Indonesia. Sementara RUU KUHP sudah sangat reformatif, juga progresif dengan situasi di Indonesia. Ini memang tidak disetujui 100 persen. Kalau masih ada yang tidak setuju, dipersilahkan melayangkan gugatan ke MK,” kata Yasonna.

Setelah diundangkan KUHP secara otomatis berlaku dengan masa transisi 3 tahun.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *